Selasa, 11 September 2007

USTAD BAMBU

Cerpen bikinan teman yang oke banget

Beberapa tahun yang lalu
Desa kecil sebenarnya terletak di tepi jalan propinsi, seharusnya ramai tetapi karena terlindungi 3 bukit, maka jalan propinsi hanya melintas di depan kantor kepala desa yang juga pintu gerbang ke desa itu.
Desanya asri, hijau dan menyenangkan, dan lebih
menjadi menyenangkan ketika seorang pemuda datang
mengunjungi – dan kemudian menetap di desa itu.
Ia bukan pedagang, Ia seorang yang ramah, baik dan
sopan. Seperti yang sudah - sudah, sebagai tamu ia di
tempatkan di buah bangunan bambu di ujung desa, dekat
sebuah surau kecil.
Surau kecil itu sendiri benar- benar sebuah bangunan
yang kecil, mungkin hanya 6 x 6 meter, tanpa kubah,
hanya beratap limasan yang terbuat dari kayu yang
terlihat sudah kumuh. Tidak ada yang tahu siapa yang
membangun surau itu.
Hari- hari berikutnya, si pemuda – yang tak bernama-
itu menjadikan pondokannya dan surau menjadi lebih
bersih. Hari – hari berikutnya lagi, pondokan dan
surau itu menjadi lebih ramai dengan kegiatan Islami,
mulai dari Fajar hingga malam hari dan hari – hari
berikutnya lagi kehidupan baru muncul di ujung desa
itu.
Anak- anak mulai bermain disitu, orang – orang mulai
bertanya dan sebagian dari mereka sudah kembali
menggunakan surau itu.
Surau menjadi hidup, hidup dengan kegiatan shalat,
dengan kegiatan mengaji dengan kegiatan membicarakan
hal- hal yang Islami, ia pun dipanggil Ustad Bambu.

Siapa ustad bambu? Tidak ada yang tahu. Nama itu
muncul karena ia tinggal di pondokan desa itu yang
terbuat dari bambu, di seberang surau.
Pemuda itu tak menolak dipanggil dengan ustad bambu.
Mungkin ia seorang ustad, karena Ia hapal kitab suci,
mengerti hukum dan norma Islami serta dapat
mengajarkan orang mengaji dengan baik.

Apalagi yang kurang? Iya apalagi? Semua kehidupan
islami di desa itu berlancar baik, malahan bagus
sekali. Kehidupan anatara dunia dan akhirat berjalan
sangat serasi, jikalau ada kekacauan semuanya bisa
diselesaikan dengan amat baik.

Maka suatu hari di pondokannya, ustad bambu
bermusyawarah, dengan tujuan untuk menanyakan kepada masyarakat… apa yang kurang darinya. Semua yang hadir tidak bisa menjawab. Suasana hening, sang ustadpun menjadi tidak enak, ketika ia hendak membubarkan majelis ini, tiba- tiba seorang perempuan paruh baya berkata lirih.
“hanya satu kekurangan Ustad…, belum haji”. Bak
diterjang ribuan rusa, sang Ustad pun tertegun. Benar,
hingga sekarang Ia belum pernah beribadah haji.
Majelispun dibubarkan.

Keesokan hari dan hari- hari berikutnya, kegiatan di
desa berjalan seperti biasa, tak ada yang berubah.
Hanya raut muka sang ustad agak berubah, tak lagi
terlihat riang, tetapi tak juga terlihat sedih. Tapi
tindak tanduknya berbeda, tak seperti biasanya.
Suatu malam sehabis Isya, beberapa penduduk menanyakan
langsung kepeda sang ustad, apa yang sebenarnya
terjadi.
Awalnya, Ia tidak mengaku, namun akhirnya Ia bercerita
mengapa akhir- akhir ini ia terlihat resah. Ternyata
pernyataan perempuan baya berkerudung sangat
merisaukan hatinya, yakni belum menjadi Haji. Semua
penduduk terdiam.

Beberapa bulan kemudian ada kabar tak terduga oleh
sang Ustad, ada kabar yang menggembirakan. Bahwa semua
penduduk desa dengan segela daya ingin memberikan
hadiah kepada sang Ustad, membiayai ustad naik haji.
Penduduk bergotong royong, menyisihkan penghasilan
mereka, bahkan dalam setiap majelis, tromol tromol
lebih digiatkan.
Alhasil, hari bahagia itupun tiba, berkat uang yang
terkumpul, sang ustad bambu menunaikan ibadah di tanah
suci.

Satu minggu setelah bulan haji berlalu.
Satu bulan setelah bulan haji berlalu
Enam bulan, satu tahun setelah bulan haji berlalu….

Ustad bamboo tidak muncul di desa itu, beragam
pertanyaan bermunculan, apakah sang ustad tersesat di
tengah padang pasir? Ataukah kapalnya terkatung –
katung di lautan luas?, sampai pertanyaan berlanjut ke
sebuah kenyataan terpahit, apakah Ia meninggal di
tanah suci?

Lalu dikirimlah dua orang pemuda untuk mencari tahu keberadaannya sang ustad ke kota besar. Selang seminggu kemudian, dua orang itu kembali ke desa. Mereka tidak menemukan sang ustad bambu, tentu saja tidak ada yang tahu dimana dia berada karena mereka semua tidak pernah tahu siapa nama asli ustad bambu. Mereka menyesal. Tetapi nasi telah menjadi bubur.

Pada hari jumat, semua orang berkumpul sehabis shalat
jumat di depan pondokan bambu sang ustad. Mereka
bermusyawarah, untuk menantukan langkah apa yang akan
mereka ambil sepeninggalan ustad bambu.

Setelah saling mengutarakan pendapat, saling
memberikan fakta dan opini akhirnya diambil sebuah
keputusan bahwa mereka akan mendirikan sebuah makam di
antara pondokan sang ustad dan surau. Juga akan di
buat kenduri selama 40 hari berturut turut mulai senin
kliwon, sebagai bentuk penghormatan kepada sang ustad.
Dan akhirnya mereka memilih wali desa untuk memimpin
kegiatan spiritual itu, seorang yang paling tua di
desa itu.

Kegiatan berlangsung cepat namun hikmad. Beberapa
pemuda mencari batu yang bagus untuk dipahat menjadi
kijing dan bambu - bambu yang bagus sebagai pagar dan
bagian atapnya akan diberi sirap yang terbaik. Ibu-
Ibu mulai menyiapkan makanan minuman yang tidak bisa
dibilang sederhana. Semuanya untuk memuliakan sang
ustad.

Tepat di hari ke 40, serangkaian pengajian mencapai
puncaknya dan sang makam ustad bamboo telah berdiri
dengan megah.
Hampir semua penduduk desa itu datang dan mmemberikan
doa bagi ustad yang mereka hormati. Namun karena rasa
cinta, masa syukuran terus berlanjut hingga 100 hari.

Anehnya, sejak itu kemakmuran desa menjadi berlipat,
tentu saja hal itu menyenangkan bagi semua penduduk
desa. Maka desa- desa di sekelilingnya ikut memberikan
doa kepada makam ustad bambu. Lalu berita dari bibir
ke bibir menyeruak ke segenap daerah.

Terutama hari senin kliwon , peziarah semakin banyak
dan berasal dari beragam daerah dan dengan beragam
maksud, tentunya.

Desa itu semakin ramai semakin makmur tentunya.

Dua puluh tahun kemudian
Di kedua desa itu. Jalan berbatu telah menjadi aspal
mulus. Sawah dan tanah lapang banyak yang berubah
menjadi tempat penginapan. Surau yang kecil telah
menajdi besar dan bertembok serta mamer, pondokan
bambu telah berubah menjadi rumah jati dengan ukiran
kayu yang halus dan bermutu tinggi.
Sebuah cungkup dari kayu jati memayungi sebuah kijing
marmer yang diberi lantai keramik serta harumnya dupa
dan menyan yang tak putus.

***
Di sebuah pelabuhan, di Bandar yang ramai. Seorang
tua, setengah terbungkuk, badannya terlihat legam dan
renta. Wajahnya masih memancarkan Wibawa yang tinggi.
Sesekali ia batuk, dengan di topang sebuah tongkat ia memandangi surya yang perlahan- lahan menghilang di balik kumpulan air yang maha luas.

(bersambung)

Wds, 18.06 pm

Istilah :
Ustad: guru, arab. diIndoensia lebih didefiniskan
sebagai guru pengajar agama islam.
Kijing : badan makam yang biasanya terbuat dari batu
Cungkup : atap yang menutupi makam